Senin, 28 Juli 2014

sebuah tanya


Bagi sebagian orang, Ramadhan dan Idul fitri adalah suatu momen yang membahagiakan, momen yang sangat ditunggu. Di sisi lain,  ada jiwa yang  menganggapnya sebagai puncak kehidupan yang ingin cepat dilalui, ingin cepat terlewati, bukan dalam hal mnjalankan ibadahNya, tapi ‘keadaan dan situasi yang ada’. Ya mungkin aku, kamu atau kalian. Ada kesakitan diisana, ada ketidakmampuan bertahan di sana, ada ketidak’aku’an dan kelayakan di sana. Bisa menjadi sesuatu yang sangat menakutkan untuk dilalui, untuk dijalani. Pernahkah terpikirkan bahwa kedamaian adalah saat seseorang terlahir dan saat itu pula meninggal? Mungkin ada kebahagiaan di sana, mungkin ada ke’aku’an di sana. Terkadang seseorang begitu payahnya untuk bertahan dalam keadaan yang sama, bertahun-tahun, tanpa perubahan. Bukan berarti tidak berusaha untuk melawan keadaan, bukan. Sekali lagi bukan. Tetapi setiap keadaanlah yang membawanya pada ‘kesakitan’. Kesakitan yang di tahan, kesakitan yang jika dilawan akan semakin sakit. Kesakitan yang dicoba  ditutupi dengan tawa, dengan senyum. Ya aku atau pun kamu, atau kalian. Beberapa orang ditakdirkan terlahir dalam keadaan ini, situasi ini. Keadaan yang jika dilawan akan semakin menggerogoti jiwa. Jiwa yang suci, berkembang menjadi jiwa yang bertanya, jiwa yang terintimidasi, pada akhirnya menjadi jiwa yang kuat yang terkadang begitu lemah. Sangat lemah. Ya kesakitan itu telah membuat jiwa itu begitu rapuh untuk disentuh, jiwa yang diliputi oleh ketakutan-ketakutan. Jiwa yang dipenuhi oleh rasa apatis. Jiwa yang pada akhirnya menyerahkan semuanya pada takdir yang digariskan olehNya. Ya, Jiwa yang begitu mendambakan Ramadhan dan Idul fitri adalah kebahagiaan  yang paling ditunggu dalam hdupnya. . . .

Rabu, 30 April 2014

benda 'absurd' itu bernama cinta


Malam ini banyak hal yang memenuhi pikiran saya. Beberapa hal yang membuat saya harus menelan obat sakit kepala, berharap rasa pening yang datang beberapa hari yang lalu segera menghilang dan saya bisa tidur nyenyak. Tapi pada akhirnya saya tetap berusaha keras untuk memejamkan mata. Finally, NB saya buka, mencari salah satu alamat website yang sudah lama tidak saya isi. Saya mulai menggerakkan jari-jari, mencoba memejamkan mata, menerawang, menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Yah, pada akhirnya saya mencoba untuk flashback ke masa lalu. Banyak adegan-adegan slide yang tak beraturan waktunya. Teringat seorang sahabat pernah mengatakan pada saya, kalau saja tidak menikah bukanlah suatu aib, mungkin dia akan menjalaninya. Hidup, bekerja, cari uang dan membahagiakan orang tua, dan menemani mereka sampai tutup usia. Beberapa harapan yang setidaknya ada dalam pikirannya saat itu. Pemikiran seperti ini tentu saja pernah terlintas juga dalam benak saya. Saya rasa hidup akan terasa lebih simple jika hanya sebatas seperti itu. Saya memahami pemikirannya yang memang kebetulan terlahir sebagai anak tunggal. Saya mencoba membandingkan dengan alasan apa yang membuat saya pernah berpikir seperti dia. Ditakdirkan hidup terpisah dengan orang tua, bisa jadi salah satu alasannya, dan beberapa alasan yang  lain saya mencoba untuk memahaminya. Sampai saat ini...
Pada dasarnya wanita ditakdirkan terlahir dengan perasaan yang halus, lemah dan sangat rentan. Beberapa pengalamanlah yang terkadang membuat wanita harus menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar. Banyak hal yang harus mereka sembunyikan, bahkan mencoba untuk tetap tersenyum untuk menguatkan hatinya. Meski pada akhirnya kalah dengan perasaan dasar yang mereka miliki. Saya teringat adegan sebuah film yang mengatakan bahwa hati wanita adalah samudera yang paling dalam. Saya rasa itu sangat benar, mengingat banyak di antaranya yang pandai menyembunyikan perasaanya. Saya begitu mengagumi mereka yang bisa bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih kuat, sekaligus sangat sedih jika mengingat perasaan-perasaan 'lemah' yang harus disembunyikan, tidak lain sebagai pembuktian bahwa mereka bukan kaum yang bisa mudah untuk ditaklukkan. Kegigihan dan pengorbanan mereka yang kadang dianggap biasa karena sering disamakan dengan kaum laki-laki. Padahal pencapaian yang mereka capai bisa dibilang luar biasa mengingat bahwa mereka adalah makhluk yang begitu halus, lemah dan sangat rentan perasannya. Banyak juga di antaranya yang sering terluka oleh benda absurd yang bernama 'cinta'. Saya lebih nyaman menyebutnya seperti itu karena 'cinta' lebih identik sebagai sesuatu yang tak tampak secara kasat mata tetapi lebih sering menyakitkan perasaan wanita. Saya katakan demikian karena saya banyak menemui hal-hal kecil yang bisa menjadi besar oleh benda absurd tersebut. Cinta dalam hal ini bisa sangat luas maknanya, bisa sebuah pengorbanan, bisa sebuah  penerimaan, dan bisa sebuah keikhlasan dalam menjalani. Di sini saya akan membahas benda absurd tersebut sebagai hal yang dekat dengan perasaan emosional wanita, karena malam ini, itulah yang memang memenuhi pikiran saya. Beberapa sahabat pernah menceritakan kisah percintaanya pada saya. Suatu perasaan emosional yang bisa membuat mereka rela mengeluarkan air mata untuk makhluk yang bernama ‘laki-laki’. Perasaan-perasaan itu terkadang timbul dari pikiran sepihak, rasa sepihak, rasa tak dianggap, rasa tak diperhatikan, bahkan rasa yang hanya bertepuk sebelah tangan, yang saya yakin semua itu jarang dimengerti oleh kaum yang bernama ‘laki-laki’. Sudah menjadi kodrat, wanita dilahirkan dengan 1 pemikiran dan 9 perasaan begitu juga sebaliknya dengan laki-laki yang memang dianugrahi dengan 1 perasaan dan 9 pemikiran (hal yang sering saya dengar, dan menjadi acuan saya untuk mencoba memahami semua).
Pernah suatu ketika, seorang sahabat menghubungi saya meminta untuk menemaninya minum kopi di salah satu warkop di daerah tempat saya menempuh study akhir. Waktu itu menunjukkan pukul sembilan malam, tidak seperti biasanya, karena dia tipikal wanita yang mungkin sudah nyenyak dalam tidur kalau sudah berada dalam wilayah jam tersebut. Saya mengiyakan, dan segera melaju untuk menjemputnya di kostannya. Saya menangkap beberapa hal dari cerita yang saya dengar dari dia, bahwa dia merasa tidak dianggap oleh pasangannya, dan ada beberapa hal lain yang mungkin tidak bisa ia jabarkan secara gamblang pada saya. Saya paham, dan tugas saya adalah mendengarkan dan memberikan beberapa masukkan yang mungkin bisa lebih meringankaan beban pikirannya. Dia mengatakan bahwa dia sudah ‘mentog’ dengan pasangannya itu. Ya, sekali lagi saya mengerti mengingat dimana usia waktu itu bukan saatnya lagi untuk mencoba ke yang lain. Saya rasa ini lebih kepada ‘keengganan’ untuk mencoba lagi, karena saya memahami dia sudah cukup terluka dengan beberapa ‘cinta sebelumnya’. Setelah beberapa lama, dan dirasa cukup untuk ‘share’ saya antarkan dia kembali ke kostan dan berharap dia bisa tidur nyenyak malam itu. Itu hanya sebuah cerita dari beberapa cerita sahabat-sahabat saya. Banyak kisah dari mereka yang tentu saja menginspirasi saya untuk mencoba memahami semuanya. Ada yang begitu gigih memperjuangkan perasaannya walau pada akhirnya lelah dan menyerah. Banyak juga yang merasa masa lalunya ‘selalu tersakiti’ oleh benda absurd itu. Bagi wanita ‘masa lalu’ adalah sesuatu yang banyak mengajarkan ‘rasa’ untuk tidak percaya begitu saja dengan perasaan yang ditawarkan oleh kaum laki-laki. Bahkan beberapa di antaranya mulai membentengi ‘hati’ untuk berjaga dan menyelamatkan perasaan yang masih dalam proses penyembuhan. Walau pada akhirnya mencoba memberi sedikit celah untuk menerima ‘hal baru’ yang mereka harap bisa mengobati luka masa lalu. Meskipun terkadang rasa ‘apatis’ sewaktu-waktu bisa muncul jika hati mereka terasa terluka.
Saya sering melakukan pengamatan langsung dengan apa yang terjadi dalam diri saya maupun tidak langsung dengan apa yang terjadi disekitar saya, dan saya menemukan jawaban yang sampai saat ini belum bisa saya pahami bahwa ‘pemikiran laki-laki itu sangatlah rumit’ khususnya dalam hal benda absurd tersebut. Saya menyimpulkan bahwa keberadaan benda absurd tersebut hanya berada dalam urutan ‘ke sekian’ bagi kaum laki-laki, berbeda dengan kaum wanita yang banyak di antaranya yang menempatkan pada urutan ‘yang pertama’ walaupun ‘tidak diperlihatkan secara langsung’. Begitu kontrasnya dari dua hal tersebut yang sering menjadi ‘masalah’ saat tidak ditemukan solusi yang tepat, dan saya rasa solusi tidak akan berjalan jika tidak adanya komitmen dan kerjasama untuk saling memahami dan berusaha untuk membahagiakan ‘pasangan’ masing-masing. Hal ini memang terlihat mudah untuk didengar dan sangat sulit untuk dilakukan. Butuh waktu yang lama untuk bisa memahami dan mempraktekanya, mungkin seumur hidup.
Yah, seiring waktu kita pasti akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dulu dan mungkin sampai saat ini masih sering berkecamuk dalam benak kita.