Malam ini banyak hal yang memenuhi pikiran saya. Beberapa
hal yang membuat saya harus menelan obat sakit kepala, berharap rasa pening
yang datang beberapa hari yang lalu segera menghilang dan saya bisa
tidur nyenyak. Tapi pada akhirnya saya tetap berusaha keras untuk memejamkan
mata. Finally, NB saya buka, mencari salah satu alamat website
yang sudah lama tidak saya isi. Saya mulai menggerakkan jari-jari,
mencoba memejamkan mata, menerawang, menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Yah,
pada akhirnya saya mencoba untuk flashback ke masa lalu. Banyak adegan-adegan
slide yang tak beraturan waktunya. Teringat seorang
sahabat pernah mengatakan pada saya, kalau saja tidak menikah bukanlah suatu
aib, mungkin dia akan menjalaninya. Hidup, bekerja, cari uang dan membahagiakan
orang tua, dan menemani mereka sampai tutup usia. Beberapa harapan yang
setidaknya ada dalam pikirannya saat itu. Pemikiran seperti ini tentu saja
pernah terlintas juga dalam benak saya. Saya rasa hidup akan terasa lebih simple
jika hanya sebatas seperti itu. Saya memahami pemikirannya yang memang
kebetulan terlahir sebagai anak tunggal. Saya mencoba membandingkan dengan
alasan apa yang membuat saya pernah berpikir seperti dia. Ditakdirkan hidup
terpisah dengan orang tua, bisa jadi salah satu alasannya, dan beberapa alasan
yang lain saya mencoba untuk memahaminya. Sampai saat ini...
Pada dasarnya wanita ditakdirkan terlahir dengan
perasaan yang halus, lemah dan sangat rentan. Beberapa pengalamanlah yang
terkadang membuat wanita harus menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar.
Banyak hal yang harus mereka sembunyikan, bahkan mencoba untuk tetap tersenyum
untuk menguatkan hatinya. Meski pada akhirnya kalah dengan perasaan dasar yang
mereka miliki. Saya teringat adegan sebuah film yang mengatakan bahwa hati wanita adalah
samudera yang paling dalam. Saya rasa itu sangat benar, mengingat banyak di antaranya yang pandai menyembunyikan perasaanya. Saya begitu mengagumi mereka yang bisa bermetamorfosis menjadi
pribadi yang lebih kuat, sekaligus sangat sedih jika mengingat
perasaan-perasaan 'lemah' yang harus disembunyikan, tidak lain sebagai
pembuktian bahwa mereka bukan kaum yang bisa mudah untuk ditaklukkan. Kegigihan dan
pengorbanan mereka yang kadang dianggap biasa karena sering disamakan dengan
kaum laki-laki. Padahal pencapaian yang mereka capai bisa dibilang luar biasa
mengingat bahwa mereka adalah makhluk yang begitu halus, lemah dan sangat
rentan perasannya. Banyak juga di antaranya yang sering terluka oleh benda
absurd yang bernama 'cinta'. Saya lebih nyaman menyebutnya seperti itu
karena 'cinta' lebih identik sebagai sesuatu yang tak tampak secara kasat mata
tetapi lebih sering menyakitkan perasaan wanita. Saya katakan demikian karena
saya banyak menemui hal-hal kecil yang bisa menjadi besar oleh benda absurd tersebut. Cinta dalam hal ini bisa
sangat luas maknanya, bisa sebuah pengorbanan, bisa sebuah penerimaan, dan bisa sebuah keikhlasan dalam
menjalani. Di sini saya akan membahas benda absurd
tersebut sebagai hal yang dekat dengan perasaan emosional wanita, karena malam ini,
itulah yang memang memenuhi pikiran saya. Beberapa sahabat pernah menceritakan
kisah percintaanya pada saya. Suatu perasaan emosional
yang bisa membuat mereka rela mengeluarkan air mata untuk makhluk yang bernama ‘laki-laki’.
Perasaan-perasaan itu terkadang timbul dari pikiran sepihak, rasa sepihak, rasa
tak dianggap, rasa tak diperhatikan, bahkan rasa yang hanya bertepuk sebelah tangan,
yang saya yakin semua itu jarang dimengerti oleh kaum yang bernama ‘laki-laki’.
Sudah menjadi kodrat, wanita dilahirkan dengan 1 pemikiran dan 9 perasaan
begitu juga sebaliknya dengan laki-laki yang memang dianugrahi dengan 1
perasaan dan 9 pemikiran (hal yang sering saya dengar, dan menjadi acuan saya
untuk mencoba memahami semua).
Pernah suatu ketika, seorang sahabat menghubungi
saya meminta untuk menemaninya minum kopi di salah satu warkop di daerah tempat saya
menempuh study akhir. Waktu itu menunjukkan
pukul sembilan malam, tidak seperti biasanya, karena dia tipikal wanita yang
mungkin sudah nyenyak dalam tidur kalau sudah berada dalam wilayah jam tersebut.
Saya mengiyakan, dan segera melaju untuk menjemputnya di kostannya. Saya menangkap
beberapa hal dari cerita yang saya dengar dari dia, bahwa dia merasa tidak
dianggap oleh pasangannya, dan ada beberapa hal lain yang mungkin tidak bisa ia
jabarkan secara gamblang pada saya. Saya paham, dan tugas saya adalah
mendengarkan dan memberikan beberapa masukkan yang mungkin bisa lebih meringankaan
beban pikirannya. Dia mengatakan bahwa dia sudah ‘mentog’ dengan pasangannya
itu. Ya, sekali lagi saya mengerti mengingat dimana usia waktu itu bukan
saatnya lagi untuk mencoba ke yang lain. Saya rasa ini lebih kepada ‘keengganan’
untuk mencoba lagi, karena saya memahami dia sudah cukup terluka dengan beberapa
‘cinta sebelumnya’. Setelah beberapa lama, dan dirasa cukup untuk ‘share’ saya antarkan dia kembali ke
kostan dan berharap dia bisa tidur nyenyak malam itu. Itu hanya sebuah cerita
dari beberapa cerita sahabat-sahabat saya. Banyak kisah dari mereka yang
tentu saja menginspirasi saya untuk mencoba memahami semuanya. Ada yang begitu gigih memperjuangkan perasaannya walau pada akhirnya lelah
dan menyerah. Banyak juga yang merasa masa lalunya ‘selalu tersakiti’
oleh benda absurd itu. Bagi wanita ‘masa
lalu’ adalah sesuatu yang banyak mengajarkan ‘rasa’ untuk tidak percaya begitu
saja dengan perasaan yang ditawarkan oleh kaum laki-laki. Bahkan beberapa di
antaranya mulai membentengi ‘hati’ untuk berjaga dan menyelamatkan perasaan
yang masih dalam proses penyembuhan. Walau pada akhirnya mencoba
memberi sedikit celah untuk menerima ‘hal baru’ yang mereka harap bisa
mengobati luka masa lalu. Meskipun terkadang rasa ‘apatis’ sewaktu-waktu bisa
muncul jika hati mereka terasa terluka.
Saya sering melakukan pengamatan langsung
dengan apa yang terjadi dalam diri saya maupun tidak langsung dengan apa
yang terjadi disekitar saya, dan saya menemukan jawaban yang sampai saat ini
belum bisa saya pahami bahwa ‘pemikiran laki-laki itu sangatlah rumit’
khususnya dalam hal benda absurd
tersebut. Saya menyimpulkan bahwa keberadaan benda absurd tersebut hanya berada dalam urutan ‘ke sekian’ bagi kaum
laki-laki, berbeda dengan kaum wanita yang banyak di antaranya yang menempatkan
pada urutan ‘yang pertama’ walaupun ‘tidak diperlihatkan secara langsung’. Begitu
kontrasnya dari dua hal tersebut yang sering menjadi ‘masalah’ saat tidak
ditemukan solusi yang tepat, dan saya rasa solusi tidak akan berjalan jika
tidak adanya komitmen dan kerjasama untuk saling
memahami dan berusaha untuk membahagiakan ‘pasangan’ masing-masing. Hal ini
memang terlihat mudah untuk didengar dan sangat sulit untuk dilakukan. Butuh waktu
yang lama untuk bisa memahami dan mempraktekanya, mungkin seumur hidup.
Yah, seiring waktu kita pasti akan menemukan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang dulu dan mungkin sampai saat ini masih sering
berkecamuk dalam benak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar