Selasa, 12 Mei 2015

. . . .

Memang seperti itu bukan? Hidup bukan hanya cerita tentang puteri yang mendapatkan pangeran impiannya. Bukan cerita tentang pangeran yang mendapatkan puteri yang sempurna. Bukan cerita tentang seorang yang bisa mendapatkan kebahagiaan seutuhnya. Bukan tentang hal-hal yang selalu menyenangkan dan membahagiakan. Hidup adalah realitas yang dibalut harapan dan impian. Tentang kepedihan dan tangisan yang diperjuangkan. Tentang kepingan-kepingan yang dicoba untuk disatukan. Juga tentang penerimaan dalam ketidaksempurnaan. . .

Senin, 13 April 2015

Give me light street God. . .

Thank's God. . .
Hari ini hatiku begitu ringan
Seperti kapas. . .
Semoga ke depan bisa seperti ini terus
Amin. . .

Jumat, 10 April 2015

Just story. . .

"Sudah lama menunggu?," kata pria yang kini duduk di depannya.
Wanita itu mengamati dengan seksama pria yang kini ada dihadapannya. Pria dengan postur tubuh sedang, memakai kemeja putih dengan lengan yang di lipat sampai siku. Jam tangan hitam yang selalu jadi kebanggaannya masih terpakai. Garis wajah yang dulu sangat ia kenal, tidak berubah. Hanya sedikit terlihat lebih tegas. Potongan rambut pendek dan 'rapih' terlihat menarik di usianya yang terbilang sudah matang, 32 tahun.
"Din. .  dinda," Pria itu mencoba mengulang nama wanita yang di panggilnya Dinda. Wanita itu kaget saat tersadar namanya dipanggil. Ia terkesiap saat sepasang sorot mata yang tajam itu menatapnya. Beberapa puluh tahun yang lalu, mata itu membuatnya tergila-gila. Ya, mata itu . . .
"Eh, iya, baru setengah jam yang lalu, " Dia berusaha menekan suaranya senormal mungkin. Tapi ada yang berbeda, dadanya tidak berdegup kencang seperti beberapa tahun yang lalu jika berhadapan dengan pria itu. Dia juga tidak memalingkan pandangan saat tiba-tiba bertatapan muka dengannya seperti yang sering dia lakukan dulu. Wanita itupun terlihat santai saat menjawab pertanyaan pria itu. Dia hanya sedikit melamun saja tadi dan kaget saat namanya dipanggil.
"Sudah pesan makan?," tanya pria tersebut karena dia hanya melihat lemon tea yang ada di meja.
"Kau masih menyukai minuman itu," kata pria itu lagi sambil sedikit tersenyum. Wanita itu agak kaget dan mengernyitkan dahinya mendengar ucapan si pria. "Dari mana dia tahu?," batinnya. Tapi dia mengurungkan niat untuk bertanya hal itu. Untuk apa. . .
"Aku sudah makan tadi di kereta," kamu mau pesan apa? Biar aku pesankan," kata wanita itu.
"Biar aku sendiri saja yang pesan," pria itu kemudian memanggil waitress memesan makanan dan minuman.
"Kau pasti lelah setelah perjalanan 8 jam," kata si pria.
"Tidak sama sekali, aku menikmati perjalanannya." Kata si wanita.
" Ya, kau memang selalu menikmati perjalananmu," kata si pria
"Aku suka kereta, dan aku pasti menikmati perjalanannya". Entah salah dan hanya perasaannya saja, pria itu menatapnya begitu lekat.
"Kau setiap hari pulang jam lima sore?," wanita tersebut mengalihkan pembicaraan, dia merasa ada yang mulai mengganggu di pikirannya.
" Ya, terkadang sampai malam kalau banyak kerjaan," jawab si pria.
Saat itu juga waitress datang membawa makanan dan minuman yang dia pesan. Pria tersebut lansung menyeruput minuman dinginnya.
"Sejak kapan kau menyukai lemon tea?," si wanita bertanya dengan wajah keheranan.
"Sudah lama, sejak 9 tahun yang lalu," jawab pria itu santai sambil menyantap nasi goreng yang dipesan olehnya.
Wanita itu mengernyitkan dahinya,"Kenapa?,"tanyanya lg.
"Apanya?,"si pria balik bertanya.
"Bukankah kau tidak suka teh?,"
"Oh..., tapi aku suka lemon, dan aku pikir lemon dengan teh memang cocok. Jelas si pria sambil tersenyum lebar.
"Kau terlihat lapar," wanita itu tersenyum melihat pria yang di depannya makan dengan lahap. Si pria hanya tersenyum dengan mulut yang hampir penuh oleh makanan.
"Iya, aku lapar sekali, tadi di kantor tidak sempat makan siang,". Dia melanjutkan suapan demi suapan ke mulutnya.
"Ya, habiskan dulu makananmu," kata si wanita sambil tersenyum memandang si pria yang sedang menikmati makanannya.
Ya pria tersebut memang tidak berubah, masih seperti dulu. Terkadang dia terlihat lucu dengan tingkahnya yang memang apa adanya. Terkadang dia terlihat begitu serius dengan sorot matanya yang begitu tajam. Pria yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu. . .
                                   ***
Bel sekolah tanda pulang berbunyi. Kelas yang tadinya tenang, mulai ramai dengan sorak sorai siswa. Ya, mereka memang sudah menunggu bel tersebut dari tadi. Sebagian besar karena perut sudah mulai kelaparan dan lelah. Tak terkecuali, seorang gadis yang melihat terus ke arah jam tangan yang dikenakannya. Dia terlihat gelisah. Setelah membaca doa penutup pelajaran, gadis tersebut langsung melesat keluar kelas menuju ke kantin yang ada di belakang sekolah. Ia hanya menoleh ke belakang, menyeringai  dan melambaikan tangan ke arah teman sebangku yang memanggilnya. Temannya pun segera menyusul sambil segera memungut tasnya.
Kedua bola mata itu menyisir tiap sudut ruangan kantin. Terutama di meja-meja yang terdapat di sana. Tidak menemukan apa yang ia cari. Ia kembali menyisir ruangan tersebut, memastikan apa yang ia cari memang ada di sana. Ia hanya menemukan sekelompok siswa yang sedang menyantap makan siang mereka. Beberapa siswa tersebut memang sengaja makan siang di kantin. Kebanyakan dari mereka adalah yang rumahnya cukup jauh dari sekolah. Alasan yang pasti adalah perut mereka memang sudah berbunyi minta diisi. Beberapa di antaranya ada yang hanya ngerumpi di kantin yang memang selama ini menjadi tempat favorit anak anak sambil menikmati cemilan.
"Ah, mengapa hari ini kantin ini begitu sesak,"gerutu si gadis. Dia berfikir jadi tidak leluasa mencari "sesuatu" yang dia cari.
"Huffft,," dia akhirnya duduk di salah satu sudut ruang yang terdapat meja cukup kecil yang bangkunya masih kosong. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding. Lelah . . .
"Dindaaa, kamu nyari apa sih sampai lari- lari?," suara yang mengagetkan itu ternyata suara teman sebangkunya yang juga ikut lari dibelakangnya tadi. Temannya tersebut segera duduk di depannya yang memang kursinya juga masih kosong. Entah memang kebetulan atau memang takdir yang mengharuskan mereka untuk bersama lagi satu kelas di SMA ini. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya 3 tahun yang lalu. Mereka dipertemukan saat MOS(Masa Orientasi Siswa). Seiring waktu, mereka cocok satu sama lain dan sejak saat itu hari-hari mereka isi dengan persahabatan. Ya persahabatan yang bisa di bilang sangat erat . . .
"Hey, ditanya malah merem??!,"sahabatnya itu tidak sabar melihat temannya hanya diam saja hanya memejamkan mata masih dengan posisi menyandar di dinding.
"Ahh, lapar aku, mau sekalian pesan makanan tidak?,"tanyanya lagi. Yang ditanya segera membuka mata dan mengiyakan.
"Boleh,"jawabnya sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang rapih.
"Ah, kalau soal makanan saja kamu cepat," sahabatnya itu berdiri pura-pura bersungut sambil berlalu untuk memesan makanan.
"Menu biasa ya!!,"dia sedikit berteriak agar sahabatnya itu dengar. Siang itu kantin memang cukup ramai pengunjung...
Setengah jam kemudian kantin sudah terlihat agak sepi. Hanya ada tiga orang siswa yang sedang mengobrol dan menghabiskan cemilan mereka. Di sudut ruang dekat jendela kantin, dua remaja tanggung yang sedang menghabiskan makanan.
"Kamu sebenarnya lagi cari apa sih?,"tanya gadis yang memiliki postur agak kecil, rambut lurus sebahu dengan potongan blow, matanya besar bulat dengan alis yang tipis melengkung menyerupai bulan sabit. tubuhnya bisa dikatakan mungil untuk ukuran pelajar kelas dua Sekolah Menengah atas. Wajahnya jelas menandakan tanda tanya dari tadi. Penampilannya sangat kontras dengan teman di depannya yang memiliki postur lebih tinggi, 158 cm. Temannya itu masih santai menyantap makanan ke mulutnya. "Nanti aq jelasin,"jawabya sambil menghabiskan nasi gorengnya, dan segera menyeruput lemon teanya yang tinggal setengah gelas.
"Ika, ini hari terakhir mengumpulkan pilihan ekskul kan?,"tanya Dinda.
"Eh apa iya, punyaku malah sudah dikumpulin minggu kemarin,"kata gadis yang bernama Ika tersebut.
"Tadi punyaku aku kumpulin pas istirahat kedua, dan tertinggal di sini, aku lupa naruh di mana, padahal nanti latihan pertama kan habis jumatan?,"
"Aku kira kamu udah ngumpulin tadi,ahhh Dindaaa,,kamu memang pelupa,gimana dong, nanti kan kita udah mulai latihan?!,"kata Ika terlihat panik, sedang Dinda hanya tersenyum melihat temannya itu.
"Gak apa-apa tinggal ikut aja nanti, toh paling didata ulang kan?,"jawab Dinda terlihat santai."Tapi. . .masalahnya formulir itu kan ada tanda tangan ortu, tau sendiri kan, untuk ekskul ini saja aku mesti diinterogasi, ditanya apa saja kegiatannya dan lain-lain sebelum disetujui. Aku malas kalau harus minta tanda tangan Bapak lagi,"Dinda mulai khawatir dengan kemungkinan yang terjadi. Beberapa hari ini dia memang sering tidak sepaham dengan Bapaknya. Akhir-akhir ini Bapaknya sering marah-marah, yang kerap jadi sasarannya adalah ibu. Ibu yang memang lemah seringkali diam saja kalau dibentak Bapak. Ahh, rasanya Dinda sudah benci dengan sosok laki-laki itu. Laki-laki yang sering membuat ibu menangis sendiri di kamar, tapi dengan cepat Ibu mengusap air matanya saat secara tidak sengaja dilihat oleh Dinda. Ibu yang lemah lembut, yang selalu mengasihi anak-anaknya. Kebencian Dinda memuncak saat mengetahui Bapaknya perlaku kasar dengan menampar Ibunya. Sejak itu Dinda tidak respect kepada Bapaknya.
"Din.., dinda,"Ika meremas tangan sahabatnya itu."Kamu baik-baik saja?".Dinda terhenyak dari lamunannya."Aku baik-baik saja Ika,"katanya sambil tersenyum."Sholat dhuhur dulu yuk, jam satu kita sudah mulai latihan,"lanjutnya."Okayy, aku bayar dulu ya, hari ini aku yang traktir," jawab Ika sambil berlalu ke kasir."Thank's ya mungil..,besok giliranku,"jawab Dinda sambil tersenyum lebar. Sedang sahabatnya melotot mendengar panggilan itu.
                                 ***
Pria itu memperkenalkan dirinya di kelas, potongan kemeja lengan panjang warna coklat muda yang dilipat sampai siku memperlihatkan kulitnya yang hitam kecoklatan. Warna kulit khas orang yang suka berpetualang yang membiarkan tubuhnya selalu dibelai matahari. Dinda memperhatikan potongan kemeja yang dari tadi menjadi perhatiannya. Kemeja yang menarik, dengan beberapa emblem di kanan kiri lengannya. Semacam logo dan beberapa tulisan di sebelah kiri, dan juga lambang bendera merah putih di sebelah kanan lengan. "baju itu terlihat keren," batin Dinda.
Pria itu memperkenalkan namanya saat di tanya oleh seorang anak. "Haidar", jawabnya singkat. "Ada lagi yang tanya?,"lanjutnya. "Nama panjang kak?,"salah satu ada yang nyeletuk,". Itu tidak penting, cukup kalian panggil saja Haidar," jawabnya dengan sedikit sunggingan senyum."yaaahhh',"anak-anak kecewa dengan jawaban pria itu. "Ahh, sombong sekali pria itu, lagi pula tidak penting dengan nama panjangnya, anak-anak juga kan pasti cuma bada basi".Dinda bergumam memonyongkan mulutnya.
"Coollll. . ",tiba-tiba teman sebangkunya itu nyeletuk sambil kedua tangan menopang pipi. Sontak Dinda menatap tajam sahabatnya itu. Sahabatnya hanya senyam senyum sambil terus memandang pria yang ada di depan kelas. "Whaat?", Dinda gak habis pikir dengan pendapat sahabatnya itu. Ah ya mungkin sahabatnya tadi salah makan, pikir Dinda.
"Ok, sekarang kalian ke lapangan, kita latihan fisik dulu", kata salah satu senior kelas 3 dengan volume yang agak diperbesar. Anak-anak segera beranjak keluar kelas menuju lapangan. Lapangan di sini hanya sebagai istilah "diluar". waktu itu pukul menunjukkan pukul dua siang. Matahari sudah agak bergeser pada posisi paling atas, hanya saja panas masih terasa menyengat. Anak-anak digiring ke lapangan. Lapangan yang dimaksud adalah halaman di depan kelas 3 IPS yang memang cukup luas. Dengan beberapa pohon rindang yang tumbuh di sisi tepi halaman dengan rumput hijau yang tumbuh tidak begitu lebat. Ah, ini sungguh mengasyikkan," Dinda melangkah ringan sambil tersenyum lebar. Sahabatnya ika, mengeluh kepanasan. Dinda, benarkah hari ini kita akan latihan fisik?," ika mengusap dahinya yang berkeringat."Sudah.. nikmati saja,". Dinda tersenyum melihat sahabatnya yang terlihat kepayahan, padahal itu baru start awal.
Sebenarnya yang dimaksud latihan fisik adalah latihan dengan pemanasan seperti olah raga biasanya, dilanjutkan sit up, push up, kemudian lari mengitari lapangan basket beberapa kali. Cukup melelahkan bagi pemula. beberapa anak terlihat lelah, tapi sebagian besar terlihat sangat menikmati. Latihan tersebut dipandu oleh salah satu kakak kelas dari kelas dua. Sisanya  kelas dua dan tiga ikut menirukan gerakan kawannya itu. Setelah latihan fisik, semua peserta istirahat. Mereka yang kelas satu membentuk lingkaran dihalaman depan kelas yang berumput. Tempat tersebut dirasa paling pas karna memang agak teduh. Kakak-kakak kelas yang memiliki sebutan "senior" menyiapkan bekal makanan yang di bawa oleh peserta kelas satu sebelum latihan fisik. Makanan dibagikan secara acak, jadi jangan harap yang tadinya membawa lauk yang cukup istimewa bisa kebagian jatah mereka kecuali memang beruntung. Anak-anak diinterupsikan untuk membuat beberapa lingkaran kecil. Satu lingkaran terdiri dari lima sampai tujuh orang. Dengan jatah makanan 3-4 box makanan. Mereka harus menghabiskan makanan di depan mereka secara bersama-sama. Sebelumnya, mereka mencuci tangan terlebih dahulu karena sama sekali tidak ada yang memakai sendok. Beberapa anak yang tidak terbiasa, agak risih tentunya. Mau tidak mau mereka harus ikut menghabiskan makanan tanpa sisa sedikitpun! Dan tidak boleh ada nasi atau apapun yang terjatuh di rumput. jika ada, kelompok mereka siap untuk mendapatkan hukuman. Apa itu? Skotjam semacam gerakan naik turun beberapa kali dengan posisi kedua tangan di atas leher. Tentu saja anak-anak tidak mau melakukannya. Satu pelajaran pada hari itu, jangan pernah menyia-nyiakan makanan, satu biji nasi sekalipun!
                                     ***
Dinda merebahkan badannya ke tempat tidur, matanya beberapa kali terpejam sambil menghembuskan nafas panjang.
Ya lelah. Aktifitas fisik pertama kali di kegiatan ekskulnya cukup membuat Dinda kelelahan. Tapi tentu saja rasa lelah bisa hilang digantikan keinginan kuat yang ia dambakan sejak dulu. Sejak smp. Dinda seringkali bermimpi, entah ini hanya kebetulan atau bukan, atau hanya imajinasi dia waktu itu. kelas 3 SMP keinginan itu tidak tertahankan. Setiap kali mata dinda terpejam, saat malam hari biasanya. Selalu ada gambaran Dinda berjalan pada Jalan setapak, ia terus berjalan, ke arah danau yang membentang luas di depannya. semilir angin membelai lembut rambutnya yang hitam panjang. Di sebelah kanan kiri jalan setapak tersebut berdiri pepohonan yang tinggi menjulang. Dan saat itu Dinda hanya merasakan kedamaian. . .
Berkali kali Dinda mencoba memejamkan matanya. Menarik nafas panjang. Matanya tertuju pada langit langit kamarnya. Teringat kejadian tadi siang, dan tiba tiba bayangan orang itu muncul. Sontak Dinda terjaga. Orang yang aneh, bathin Dinda. Dia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tepat saat Ibunya memanggil dari ruang tengah menyuruhnya makan.
"Nanti bu," Dinda berteriak dari kamarnya. Rasanya badannya capek untuk sekedar berjalan menghampiri ibunya. Rumah yang ia tempati memang berukuran sedang. Hanya terdiri dari ruang tamu, dua kamar tidur, ruang makan plus ruang dapur, satu kamar mandi, dan ruang tengah untuk menonton tivi, yang terkadang juga Dinda gunakan tempat sambil makan, begitu juga dengan adik laki-lakinyanya yang baru berumur 3 tahun. Keduanya semang menghabiskan waktu makan sambil nonton tivi. "Itu tidak baik Dinda. . ., makanan yang masuk ke tubuhmu jadi tidak terkontrol, adikmu jadi ikut mencotoh," Ibunya selalu menasehati demikian. Dinda bukannya tidak mendengar nasihat ibunya, hanya saja dia rasa sangat asik makan sambil nonton tivi. Tidak membosankan.
Dinda menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Badannya yang lelah terasa ringan, begitu pula kepalanya yang dari tadi dirasa agak berat, mungkin karna latihan fisik yang cukup lama di bawah sinar matahari.setelah selesai mandi dan ganti baju, dia bergegas ke dapur karna memang perutnya sudah terasa lapar. Ibunya ada di sana sedang menyiapkan makanan. Bau harum masakan membuat Dinda tidak tahan untuk segera menyantapnya. Sayur bayam dengan lauk kesukaannya, tempe, ikan asin, lalap dan sambal goreng. Sederhana tapi samgat menggugah selera. Dinda segera menyendok nasi ke piringnya.
"Pelan-pelan sayang kamu tidak akan kehabisan kok,"Ibunya menasehati.
"Iya ibu," Dinda hanya nyengir kuda. Itu memang menu favoritnya selain nasi goreng. Bahkan Dinda pernah berkata, menghabiskan lauk tempe setiap hari pun dia sanggup. Ibunya hanya tertawa mendengar celotehan putrinya tersebut.

Kamis, 09 April 2015

. . . . .

Sungguh. . .aq begitu takut dengan rasa itu Tuhan .. Rasa yang terkadang bahagia sekaligus sakit. Rasa yang selalu menjadi pertarungan antara perasaan dan logika. Rasa yang bisa meninggikan harapan beberapa saat, dan pada akhirnya membuatku tidak bisa menahan air mata. Aku selalu mempercayai takdirmu Tuhan. .Aku sandarkan semua hal dalam hidup padaMu. Sungguh, aku tidak bermaksud tidak ingin menerima rasa yang kau anugerahkan itu Tuhan .. Aku hanya tidak ingin tersakiti, beberapa kali harus terluka, beberapa kali harus memangkas rasa yang sama. Tapi semakin aku menekan itu semua, semakin deras rasa itu muncul ke permukaan. .semakin membanjiri hati dan pikiranku. . maafkan aku Tuhan. . .terkadang hati ini begitu rapuh. . .